Senin, 29 April 2013

Di dalam Senja Gelap dan Terang Bertukar Tempat (End)


            Sore ini aku kembali mengendap-endap dari panti. Untuk kesekian kalinya, kembali di bawah pohon Angsana di atas bukit kecil.  Hanya untuk memikirkan di mana kau berada. Terakhir kita bertemu, di halaman panti. Di sana aku masih melihat senyummu. Melihatmu memakai baju warna khasmu. Itu terakhir kali aku melihatmu sebelum aku meninggalkanmu. Dan kemudian, kau menghilang. Entahlah. Aku masih bingung dengan keberadaanmu. Di mana kau, sedang bersama siapa, aku tidak tahu. Aku hanya berharap akan datangnya suatu keajaiban yang akan mempertemukanku kembali denganmu. Waktu siangku ku habiskan untuk mencarimu. Di tempat yang ku duga kau berada di sana. Namun hasilnya sama seperti yang lalu. Nihil. Kemana lagi aku harus mencarimu? Apakah aku harus menjelajahi seluruh dunia ini? Itu tidak mungkin. Aku terlalu kecil untuk dunia seluas ini.

            Satu jam, dua jam, hampir tiga jam aku merenung di sini. Aku masih enggan beranjak dari tempat ini. Di sini, tempat kita. Aku yang  pertama kali memberitahumu tentang tempat ini. Dan selanjutnya aku juga yang selalu mengajakmu ke sini, mengingat semua tentang mereka. Sekarang aku di sini sendiri, kesepian tanpamu. Sangat menyedihkan.
                                                                        ***
Tentang hati Ibu Emily
Aku masih melihat gadis itu bercengkrama dengan lamunannya di bukit kecil itu seperti biasa. Aku tahu dia selalu datang ke sana sekedar untuk melamun dan merenung. Sebenarnya, aku sudah lama ingin mengakui bahwa aku yang menyembunyikan bonekanya. Aku hanya tak ingin Alessa terus menerus terhanyut dalam kenangan kedua orang tuanya. Aku tahu, makna boneka itu sangat penting baginya. Dan aku juga tahu Ibunda Alessa sendiri yang membuat bonekanya.
            Tapi aku yakin, Alessa akan menemukan kebahagiaan dalam kelurganya yang baru ini. Menyendiri, sepi, sunyi, itu bukan keluarganya. Tapi kami, teman-temannya di panti adalah keluarganya. Meski seringkali ia mengelak dan tidak mau mendengarkan kami, ia hanya dara manis yang pantas memiliki kasih sayang dari sesuatu yang dimakan keluraga. Aku perlahan menghampirinya. Lalu menepuk pelan pundaknya.
            “Ayo pulang, hari hampir gelap. Kau belum makan bukan?” Kataku sambil tersenyum.
Dia mengangguk senang. Sudahlah! Persetan dengan boneka itu. Kini akulah Ibunya, dan Alessa adalah salah satu anakku. Dan tentunya aku tidak akan membiarkan dia sendiri lagi. Oh bukan, bukan aku! Tapi kami, keluarganya, kami tidak akan membiarkannya sendiri.
            Langit memerah, awan-awan berkumpul menjadi satu. Perlahan gelap menghampiri, namun ada  sedikit cahaya yang kini mulai terlihat.

End.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Edelweiss Note Blogger Template by Ipietoon Blogger Template