Sabtu, 15 Juni 2013

Melody Hujan (Bagian 2)



            Tidak. Ku urungkan niatku untuk menelfonnya. Dia perlu istirahat. Lelah, pasti itu yang dirasakannya. Aku melangkah menuju dapur. Ku raih sebuah gelas kaca berwana putih lalu ku tuang air berwarna bening itu. Ku teguk secara perlahan. Kemudian aku terdiam. Diam yang cukup lama. Harus kah aku seperti ini? Menangis? Bodoh! Ini juga demi masa depannya. Demi kita. Tidak selamanya dia harus berdiam menemaniku. Ku sapu bulir-bulir gerimis kecil yang jatuh di sudut mataku. Aku beranjak menuju tempat favoritku. Kamarku. Tidak! Tempat ternyamanku adalah di sampingnya. Ku baringkan tubuhku di atas ranjang. Aku menghela nafas perlahan. Lelah. Lagi-lagi fikiranku tertuju padanya. Aku tahu apa yang dia
lakukan sekarang. Dia sedang duduk di depan sebuah computer dan dengan lihai memainkan jemarinya di atas huruf-huruf keyboard. Atau jika lelah dia akan nenopangkan dagunya di atas satu tangannya. Ah, aku merindukannya jika mengingat-ingat tentangnya. Meskipun kita telah bertemu hari ini. Sepertinya mala mini hujan akan turun lagi. Yang akan menemaniku dan menyanyikan nyanyian alam yang merdu untukku.
                                                                        ***
            Satu, dua, tiga… aku mulai menghitung minggu dengan jemari kecilku. Setiap hari hanya ini yang ku fikirkan. Hanya ini yang terngiang di dalam kepalaku. Meskipun aku tahu itu masih lama. Namun cepat atu lambat hari itu akan datang. Dan aku, sama sekali belum siap. Bukan belum, tapi tidak siap.
            “Ngapain jarinya itu?”
Sebuah suara yang sangat ku kenal membuyarkan fikiranku. Iya, itu dia.
            “Ini? Ini lagi ngitung.” Aku tersenyum tipis.
            “Ngitungin hutang yah?”
            “Ngawur, ini ngitung hari tau. Hari aku bakal sendirian disini.”
            “Kenapa di itungin? Pengen cepet-cepeet aku pergi?”
            “Ngaco tau, bukan itu maksudku. Tapi aku sadar, cepat atau lambat hari itu bakal dateng.”
            “Iya, aku tahu.”
Dia terdiam. Aku pun ikut terdiam. Kita terdiam cukup lama. Hanya sekali aku mendengarnya menghela nafas dengan pelan. Dia menggenggam erat tanganku, sesekali mengecupnya. Aku pun merengkuh erat jemarinya. Siang ini tanda-tanda hujan tak nampak. Sepertinya hujan enggan untuk turun. Mungkin para Bidadari sedang mempunyai tugas lain yang harus mereka lakukan. Dia memandangku dengan senyum manisnya. Aku tertawa kecil. Kuraih secarik kertas yang ku simpan di dalam tasku. Ku masukkan ke dalam kantong jas almamaternya. Dia hanya tersenyum kecil. Ku rasa dia sudah tau apa maksudku.
            Kita tidak lagi terdiam. Sekarang kita sedang bercengkrama. Tertawa lepas bercerita segalanya. Aku bahagia melihatnya seperti ini. Dia lepas seakan tanpa beban dalam dirinya. Sesekali ku eratkan genggaman tanganku. Kita bercerita tentang asa yang akan kita ukir. Tentang waktu yang terus berjalan. Tentang kehidupan sebenarnya yang akan ia jalani. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi aku percaya ini akan berakhir dengan indah. Seperti kisah-kisah dalam dongeng. Meskipun aku tidak hidup dalam dunia dongeng.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Edelweiss Note Blogger Template by Ipietoon Blogger Template