Tidak.
Ku urungkan niatku untuk menelfonnya. Dia perlu istirahat. Lelah, pasti itu
yang dirasakannya. Aku melangkah menuju dapur. Ku raih sebuah gelas kaca
berwana putih lalu ku tuang air berwarna bening itu. Ku teguk secara perlahan.
Kemudian aku terdiam. Diam yang cukup lama. Harus kah aku seperti ini?
Menangis? Bodoh! Ini juga demi masa depannya. Demi kita. Tidak selamanya dia
harus berdiam menemaniku. Ku sapu bulir-bulir gerimis kecil yang jatuh di sudut
mataku. Aku beranjak menuju tempat favoritku. Kamarku. Tidak! Tempat
ternyamanku adalah di sampingnya. Ku baringkan tubuhku di atas ranjang. Aku
menghela nafas perlahan. Lelah. Lagi-lagi fikiranku tertuju padanya. Aku tahu
apa yang dia
lakukan sekarang. Dia sedang duduk di depan sebuah computer dan
dengan lihai memainkan jemarinya di atas huruf-huruf keyboard. Atau jika lelah
dia akan nenopangkan dagunya di atas satu tangannya. Ah, aku merindukannya jika
mengingat-ingat tentangnya. Meskipun kita telah bertemu hari ini. Sepertinya
mala mini hujan akan turun lagi. Yang akan menemaniku dan menyanyikan nyanyian
alam yang merdu untukku.
***
Satu,
dua, tiga… aku mulai menghitung minggu dengan jemari kecilku. Setiap hari hanya
ini yang ku fikirkan. Hanya ini yang terngiang di dalam kepalaku. Meskipun aku
tahu itu masih lama. Namun cepat atu lambat hari itu akan datang. Dan aku, sama
sekali belum siap. Bukan belum, tapi tidak siap.
“Ngapain
jarinya itu?”
Sebuah suara yang sangat ku kenal membuyarkan
fikiranku. Iya, itu dia.
“Ini?
Ini lagi ngitung.” Aku tersenyum tipis.
“Ngitungin
hutang yah?”
“Ngawur,
ini ngitung hari tau. Hari aku bakal sendirian disini.”
“Kenapa
di itungin? Pengen cepet-cepeet aku pergi?”
“Ngaco
tau, bukan itu maksudku. Tapi aku sadar, cepat atau lambat hari itu bakal
dateng.”
“Iya,
aku tahu.”
Dia terdiam. Aku pun ikut terdiam. Kita terdiam
cukup lama. Hanya sekali aku mendengarnya menghela nafas dengan pelan. Dia
menggenggam erat tanganku, sesekali mengecupnya. Aku pun merengkuh erat
jemarinya. Siang ini tanda-tanda hujan tak nampak. Sepertinya hujan enggan
untuk turun. Mungkin para Bidadari sedang mempunyai tugas lain yang harus
mereka lakukan. Dia memandangku dengan senyum manisnya. Aku tertawa kecil.
Kuraih secarik kertas yang ku simpan di dalam tasku. Ku masukkan ke dalam
kantong jas almamaternya. Dia hanya tersenyum kecil. Ku rasa dia sudah tau apa
maksudku.
Kita
tidak lagi terdiam. Sekarang kita sedang bercengkrama. Tertawa lepas bercerita
segalanya. Aku bahagia melihatnya seperti ini. Dia lepas seakan tanpa beban
dalam dirinya. Sesekali ku eratkan genggaman tanganku. Kita bercerita tentang
asa yang akan kita ukir. Tentang waktu yang terus berjalan. Tentang kehidupan
sebenarnya yang akan ia jalani. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi aku percaya
ini akan berakhir dengan indah. Seperti kisah-kisah dalam dongeng. Meskipun aku
tidak hidup dalam dunia dongeng.
0 komentar:
Posting Komentar