Aku berjalan perlahan melewati
lorong-lorong sekolah. Kuhentikan langkah kakiku tepat di depan laboratorium
ips. Aku berhenti sejenak. Memandang keatas. Melihat langit yang tadinya biru
kini telah berubah menjadi mendung. Sebentar
lagi hujan. Fikirku senang. Kusandarkan tubuhku pada bangku didepan laboratorium
ips. Mataku tetap tak berhenti menatap langit. Bidadari pasti akan segera
menurunkan hujannya. Sebuah pemandangan indah segera kulihat. Kulihat satu
persatu rintik hujan mulai berjatuhan. Para Bidadari memulai tugasnya.
Butiran-butiran itu terjatuh dari langit dengan suara yang indah, jatuh ditanah
dan atap sekolah. Mataku tak berkedip memandang hujan. Hawa dinginnya mulai
kurasakan. Ketenangannya mulai kudapatkan. Aku menghela nafas. Indah. Batinku. Suara rintik jatuhnya,
bagaikan sebuah melody tersendiri bagiku. Melodi yang indah. Sebuah tangan
menepuk pundakku dan menyadarkanku dari sihir hujan itu.
“Lama ya ?”
“Enggak kok.” Aku tersenyum.
Memandangnya sesaat, kemudian kembali memperhatikan hujan.
“Liatin hujan dari tadi ?”
“Iya, ditemenin hujan dari tadi.
Udah selesai ?”
“Udah. Tunggu ujan reda ya
pulangnya ?” Ia duduk disampingku. Ikut memandang hujan.
“Aku ikut aja mau pulang kapan.
Besok ujian praktek apa ? Yang kelas tiga nih, bakal ada yang ditinggal.”
“Aku nggak bakal kemana mana kok.
Aku bakal tetep temenin kamu.” Jemarinya erat merengkuh tanganku. “Puasaan aku
bakal temenin kamu penuh, nggak kemana-mana.”
“Janji ya ?”
“Aku janji. Sini kelingkingnya.”
Pintanya.
Janji kelingking. Itu janji kita.
Sejujurnya, benar-benar berat menerima kenyataan ia akan pergi meninggalkanku
sendiri disekolah ini. Entah mengapa air mataku ingin ikut turun bersama sang
hujan. aku menutup mata. Menghindari kemungkinan terburuk akan menangis
didepannya. Aku menghela nafas. Kurengkuh jemarinya dengan kuat, seaakan tak
ingin ia pergi. Kusandarkan kepalaku pada bahunya. Kami memandang hujan. Ia
menceritakan sebuah kisah padaku tentang hujan, juga tentang negerinya.
Alcanez, negeri senja. Aku mendengarkannya dengan saksama. Jemariku masih tak
lepas dari tangannya. Bahkan kini genggamanku semakin erat. Aku hanya takut,
bagaimana aku akan menghadapi semua ini tanpanya. Mungkin hanya hitungan bulan
menyambut kelulusannya. Salah, tepatnya hitungan minggu. Aku memandangi wajahnya.
“Pulang Sekarang ? Hujannya udah
reda.”
Aku menggeleng pelan. “Aku masih
pengen disini. Sebentar aja. 5 menit.”
“Yaudah disini dulu. Mau cerita
?”
“Cerita apa ? tentang timun mas
?”
“Itu bukan cerita. Mana ada
cerita kayak gitu.”
Aku tertawa lepas. “Ada dong,
namanya juga dongeng. Udah ayo pulang. Keburu sore.”
Aku menarik tangannya seraya
berdiri. Ia mengikutiku. Kami berjalan perlahan meninggalkan laboratorium. Ia
mengantarku hingga rumah. Kemudian ia memacu motornya hingga rumahnya. Hari ini sudah selesai. Fikirku. Cukup
untuk cerita hari ini. Menikmati hujan bersama. Berbagi cerita. Kurasa beberapa
minggu lagi aku akan sulit melewati moment ini. Mengingat ia akan melangkah
lebih jauh sebelum aku bisa menyusulnya. Hari menjelang sore. Kuurungkan niatku
untuk melangkah kedalam rumah. Aku duduk dihalaman depan, menanti sang senja
datang. Warnanya mulai datang, aku dapat merasakan kehadirannya. Itu dia. Dia datang dengan warna yang
anggun. Aku memandangnya. Langit kini Nampak indah. Seindah wajah lelaki yang
tadi kupandang. Ah senja, kau sama seperti dia. Sama-sama meberikan warna untuk
duniaku. Sepertinya aku sudah cukup puas memandang senja. Kulangkahkan kakiku
menuju kedalam rumah. Kuletakkan tasku diatas meja. Kuraih handphoneku dan
menghubunginya.
0 komentar:
Posting Komentar