Dua puluh lima tahun lagi,
mungkin aku tidak akan seperti sekarang. Mungkin wajahku akan dipenuhi keriput.
Rambutku dipenuhi uban. Tanganku mulai tua, kasar. Mataku mungkin tidak akan
sejelas sekarang. Menjadi nenek nenek tua yang jelek. Jangankan dua puluh lima
tahun lagi. Sekarang saja mungkin aku bisa menjadi jelek. Namun, masihkan kau
akan mencintaiku jika aku tak cantik seperti sekarang lagi? Aku tak mau dengan
bangganya berkata bahwa bahwa aku cantik. But,
that’s all true. Bahwa setiap perempuan yang lahir di dunia ini mereka
cantik. Bukan hanya wajah, namun seperti yang kebanyakan orang bilang inner beauty. Itu yang paling utama.
Siang itu. Ketika terik matahari
begitu menusuk ke bumi sampai-sampai matahari terasa 1cm diatas kepala kita. Kamu
mengajakku singgah disebuah warung es campur di pinggir jalan untuk sekedar
mencicipi segarnya es di siang yang begitu panas. Ketika sedang menikmati
nikamatnya es yang menyegarkan, kamu melontarkan satu pertanyaan yang membuatku
terdiam. Kamu memandang wajahku dengan teliti.
“kenapa wajahmu penuh dengan
jerawat sekarang.”
Aku tersentak mendengar
pertanyaanmu itu. “kenapa kau tidak tanyakan pada ibuku?” tanpa reflek jawaban
yang tidak masuk akal itu muncul dari bibirku. Mungkin karena aku tak tahu
harus menjawab apa. Satu yang terlintas sejetika dalam fikirku. Apakah mungkin
penilainku salah tentangmu? Apa mungkin kau sama dengan lelaki diluar sana yang
memandang perempuan hanya dari parasnya saja? Lalu apa artinya semua
kata-katamu yang kau lontarkan jika ternyata kau sama dengan mereka semua? Aku
hanya menghela nafas. Kau hanya terdiam mendengar jawabnku. Mungkinjawabanku
terdengar begitu konyol ditelingamu.
“Boleh aku bertanya tentang
pertanyaanmu tadi?” aku kembali membuka percakapan kita setelah kita terdiam
cukup lama.
“yang mana? Tanyakan saja.”
“kalau seandinya tiba-tiba
diwajahku penuh sekali jerawat, lalu aku menjadi gendut, hitam, jelek, apakah
kamu masih akan mencintaiku? Atau semuanya akan berubah?” aku membayangkan apa
yang akan ia jawab atas pertanyaan yang akan aku lontarkan.
“seperti yang aku katakana. Cinta
itu tidak butuh alasan. Itu tidak akan berubah sampai kapanpun.”
“is that true? Really? Meskipun suatu saat aku akan menjadi
nenek-nenek, tua, keriput, dengan rambut yang di penuhi uban?”
“pegang janjiku. Aku mencintaimu.
Love you so much.”
“hanya janji? Apa kau tidak mau
berbicara lain selain janji?” sejujurnya bukan janji yang aku harapkan dari
jawabanmu. Namun, bagaimana kau meyakinkanku bahwa kamu benar-benar
mencintaiku. Yang aku inginkan, kau terus meyakinkanku. Saat pertanyaan
pertanyaan yang sama yang selalu aku tanyakan padamu.
“Yang penting bukan kepribadian
atau sifatmu yang berubah. Aku tetap tidak akan berubah. Kau juga, cintai aku
apa adanya seperti aku mencintaimu.”
Ya, itu jawaban yang aku
inginkan. Bukan hanya janji-janji yang terucap saja. Namun juga keyakinan dan
kepastian. “aku mencintai apa yang ada dalam dirimu. Semua, aku suka.”
“maukah kau menemaniku hingga
esok. Hingga Tuhan meminta kita tinggal di Surga-Nya?”
Pertanyaanmu terdengar seperti
seorang lelaki yang meminta pasangannya untuk menikah dengannya. Will you marry me? Aku tertawa dalam hati. Kita masih jauh dalam
tahap itu. Namun aku juga bahagia. Bahagia karna kau tak pernah lelah
meyakinkanku. Bahagia karna cinta yang kau beikan untukku. Dan masih banyak
bahagia-bahagia lain yang tak dapat ku ungkap dengan kata.
“aku mau.” Jawabku penuh senyum
dalam wajah.
Siang itu begitu indah setelah
percakapan kita. Rasa panas yang sebelumnya melanda, kini telah berubah menjadi
butiran-butiran salju yang berjatuhan. Senyum terukhir diwajah kita seperti
tidak ada sedikitpun kesedihan yang menyelimuti.
0 komentar:
Posting Komentar