Rabu, 10 Oktober 2012

Tentang Esok


Dua puluh lima tahun lagi, mungkin aku tidak akan seperti sekarang. Mungkin wajahku akan dipenuhi keriput. Rambutku dipenuhi uban. Tanganku mulai tua, kasar. Mataku mungkin tidak akan sejelas sekarang. Menjadi nenek nenek tua yang jelek. Jangankan dua puluh lima tahun lagi. Sekarang saja mungkin aku bisa menjadi jelek. Namun, masihkan kau akan mencintaiku jika aku tak cantik seperti sekarang lagi? Aku tak mau dengan bangganya berkata bahwa bahwa aku cantik. But, that’s all true. Bahwa setiap perempuan yang lahir di dunia ini mereka cantik. Bukan hanya wajah, namun seperti yang kebanyakan orang bilang inner beauty. Itu yang paling utama.

Siang itu. Ketika terik matahari begitu menusuk ke bumi sampai-sampai matahari terasa 1cm diatas kepala kita. Kamu mengajakku singgah disebuah warung es campur di pinggir jalan untuk sekedar mencicipi segarnya es di siang yang begitu panas. Ketika sedang menikmati nikamatnya es yang menyegarkan, kamu melontarkan satu pertanyaan yang membuatku terdiam. Kamu memandang wajahku dengan teliti.
“kenapa wajahmu penuh dengan jerawat sekarang.”
Aku tersentak mendengar pertanyaanmu itu. “kenapa kau tidak tanyakan pada ibuku?” tanpa reflek jawaban yang tidak masuk akal itu muncul dari bibirku. Mungkin karena aku tak tahu harus menjawab apa. Satu yang terlintas sejetika dalam fikirku. Apakah mungkin penilainku salah tentangmu? Apa mungkin kau sama dengan lelaki diluar sana yang memandang perempuan hanya dari parasnya saja? Lalu apa artinya semua kata-katamu yang kau lontarkan jika ternyata kau sama dengan mereka semua? Aku hanya menghela nafas. Kau hanya terdiam mendengar jawabnku. Mungkinjawabanku terdengar begitu konyol ditelingamu.
“Boleh aku bertanya tentang pertanyaanmu tadi?” aku kembali membuka percakapan kita setelah kita terdiam cukup lama.
“yang mana? Tanyakan saja.”
“kalau seandinya tiba-tiba diwajahku penuh sekali jerawat, lalu aku menjadi gendut, hitam, jelek, apakah kamu masih akan mencintaiku? Atau semuanya akan berubah?” aku membayangkan apa yang akan ia jawab atas pertanyaan yang akan aku lontarkan.
“seperti yang aku katakana. Cinta itu tidak butuh alasan. Itu tidak akan berubah sampai kapanpun.”
is that true? Really? Meskipun suatu saat aku akan menjadi nenek-nenek, tua, keriput, dengan rambut yang di penuhi uban?”
“pegang janjiku. Aku mencintaimu. Love you so much.”
“hanya janji? Apa kau tidak mau berbicara lain selain janji?” sejujurnya bukan janji yang aku harapkan dari jawabanmu. Namun, bagaimana kau meyakinkanku bahwa kamu benar-benar mencintaiku. Yang aku inginkan, kau terus meyakinkanku. Saat pertanyaan pertanyaan yang sama yang selalu aku tanyakan padamu.
“Yang penting bukan kepribadian atau sifatmu yang berubah. Aku tetap tidak akan berubah. Kau juga, cintai aku apa adanya seperti aku mencintaimu.”
Ya, itu jawaban yang aku inginkan. Bukan hanya janji-janji yang terucap saja. Namun juga keyakinan dan kepastian. “aku mencintai apa yang ada dalam dirimu. Semua, aku suka.”
“maukah kau menemaniku hingga esok. Hingga Tuhan meminta kita tinggal di Surga-Nya?”
Pertanyaanmu terdengar seperti seorang lelaki yang meminta pasangannya untuk menikah dengannya. Will you marry me?  Aku tertawa dalam hati. Kita masih jauh dalam tahap itu. Namun aku juga bahagia. Bahagia karna kau tak pernah lelah meyakinkanku. Bahagia karna cinta yang kau beikan untukku. Dan masih banyak bahagia-bahagia lain yang tak dapat ku ungkap dengan kata.
“aku mau.” Jawabku penuh senyum dalam wajah.
Siang itu begitu indah setelah percakapan kita. Rasa panas yang sebelumnya melanda, kini telah berubah menjadi butiran-butiran salju yang berjatuhan. Senyum terukhir diwajah kita seperti tidak ada sedikitpun kesedihan yang menyelimuti.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Edelweiss Note Blogger Template by Ipietoon Blogger Template